>
Artikel Lainnya
Showing posts with label Penyejuk Hati. Show all posts
Showing posts with label Penyejuk Hati. Show all posts

TUNTUNAN Berhari Raya


APA sebenarnya yang selalu diucapkan Rasulullah semasa hidupnya ketika hari raya Idul Fitri?  Nabi Muhammad SAW ternyata telah memberikan tuntunan agar ketika tiba di bulan Ramadhan kita mengucapkan “taqabbalallahu minna waminkum“, yang artinya “semoga Allah menerima amalan aku dan kamu“.
Kemudian menurut riwayat ucapan ini diberikan tambahkan oleh para sahabat dengan kata-kata “shiyamana wa shiyamakum“, yang artinya “puasaku dan puasamu”. Dengan demikian secara lengkap kalimat tersebut menjadi “taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum” yang artinnya “semoga Allah menerima amalan saya dan kamu, amalan puasa saya dan kamu“.
Meski sudah ada tuntunan yang secara dari Nabi Muhammad SAW, belum serta merta tuntunan itu akan segera dipraktikkan oleh umat, karena kebiasaan lama masih demikian melekat. Sebagai bagian dari fase kebudayaan, maka adat kebiasaan yang telah melekat akan mengalami perubahan melalui proses internalisasi yang cukup lama, mulai dari pengenalan, pemahaman, pembiasaan, sampai dengan pengamalan.
Dengan demikian, jika kebiasaan itu memang dinilai tidak rasional lagi dan yang paling penting adalah karena kurang atau bahkan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, maka tidak akan serta merta kebiasaan itu akan berganti. To make one understand is the most difficult. Mengapa? Karena membuat orang lain mengerti adalah pekerjaan yang paling sulit.
Secara bertahap dewasa ini sudah mulai banyak orang yang telah menggunakan ungkapan yang diberikan tuntunan oleh Rasulullah. Atau setidaknya telah mulai digunakan kedua-duanya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa yang justru masih banyak lagi adalah justru yang belum mengenal tuntunan Nabinya sendiri.
Umat lebih suka menggunakan kebiasaan umum, yang sudah biasa digunakan, meski kebiasaan itu sama sekali tidak mempunyai landasan yang kuat untuk digunakan. Itulah kenyataannya.
Itulah kondisi faktual pemahaman dan pengamalan agama Islam umat ini. Padahal tidak ada agama yang lebih tinggi selain Islam. Tetapi, karena pengalaman agamanya lebih karena kebiasaan belaka, tanpa pemahaman yang kuat, maka keimanan umat masih sangat jauh dari kuat.
Kalaupun kuat, maka kekuatan keyakinan tersebut sebenarnya merupakan kekuatan sementara yang sifatnya emosional belaka, bukan keyakinan yang dilandasi oleh pemahaman yang mendalam, termasuk pemahaman kita tentang Bahasa Arab, yang memang belum menjadi bahasa kedua kita. 

APA YANG SALAH DALAM KITA SHOLAT ?

Benarkah Shalat Dapat Mencegah dari Perbuatan Keji dan Mungkar?
oleh : Muhammad Abduh Tuasikal,


Shalat adalah ibadah yang sudah diketahui diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam. Shalat adalah rukun Islam yang sangat ditekankan setelah 2 kalimat syahadat. Di antara manfaat shalat adalah dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Namun benarkah hal itu?

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

Perbuatan fahsyah yang dimaksud pada ayat di atas adalah perbuatan jelek yang disukai oleh jiwa semacam zina, liwath (homoseks dengan memasukkan kemaluan di dubur) dan semacamnya. Sedangkan yang namanya munkar adalah perbuatan selain fahisyah yang diingkari oleh akal dan fitrah. (Lihat Taisir Al Karimir Rahman karya Syaikh As Sa’di, hal. 632 dan Syarh Riyadhis Sholihin karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 5: 45).

Shalat Mencegah dari Perbuatan Mungkar dan Kesesatan
Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seseorang yang biasa memperlama shalatnya. Maka kata beliau,
إِنَّ الصَّلاَةَ لاَ تَنْفَعُ إِلاَّ مَنْ أَطَاعَهَا
“Shalat tidaklah bermanfaat kecuali jika shalat tersebut membuat seseorang menjadi taat.” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, hal. 159 dengan sanad shahih dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 13: 298 dengan sanad hasan dari jalur Syaqiq dari Ibnu Mas’ud).

Al Hasan berkata,
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ تَنْهَهُ عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ بِهَا مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat, lantas shalat tersebut tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia hanya akan semakin menjauh dari Allah.” (Dikeluarkan oleh Ath Thobari dengan sanad yang shahih dari jalur Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qotadah dari Al Hasan)

Abul ‘Aliyah pernah berkata,
إِنَّ الصَّلاَةَ فِيْهَا ثَلاَثُ خِصَالٍ فَكُلُّ صَلاَةٍ لاَ يَكُوْنُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الخَلاَل فَلَيْسَتْ بِصَلاَةٍ: الإِخْلاَصُ، وَالْخَشْيَةُ، وَذِكْرُ اللهِ. فَالإِخْلاَصُ يَأْمُرُهُ بِاْلمعْرُوْفِ، وَالخَشْيَةُ تَنْهَاهُ عَنِ المنْكَرِ، وَذِكْرُ القُرْآنِ يَأْمُرُهُ وَيَنْهَاهُ.
“Dalam shalat ada tiga hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Al Qur’an yang memerintah dan melarang sesuatu.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 65).

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhohullah berkata, “Siapa yang merutinkan shalat dan mengerjakannya di waktunya, maka ia akan selamat dari kesesatan.” (Bahjatun Nazhirin, 2: 232).
Jika ada yang sampai berbuat kemungkaran, maka shalat pun bisa mencegahnya dari perbuatan tersebut.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِّي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ فُلاَنًا يُصَلِّيْ بِاللَّيْلِ فَإِذَا أَصْبَحَ سَرِقَ؟ فَقَالَ: “إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا يَقُوْلُ
“Ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ada seseorang yang biasa shalat di malam hari namun di pagi hari ia mencuri. Bagaimana seperti itu?” Beliau lantas berkata, “Shalat tersebut akan mencegah apa yang ia katakan.” (HR. Ahmad 2: 447, sanadnya shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Kapan Shalat Bisa Mencegah dari Perbuatan Keji dan Mungkar?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Shalat bisa mencegah dari kemungkaran jika shalat tersebut dilakukan dalam bentuk sesempurna mungkin.

Ternyata kita dapati bahwa hati kita tidaklah berubah dan tidak benci pada perbuatan fahisyah atau mungkar setelah shalat kita laksanakan atau keadaan kita tidak berubah menjadi lebih baik, mengapa demikian? Itu bisa jadi karena shalat kita bukanlah shalat yang dimaksud yaitu yang bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ingatlah bahwa firman Allah itu benar dan janji-Nya itu pasti yaitu shalat itu memang bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Sebenarnya, shalat itu demikian yaitu jika engkau bertekad untuk bermaksiat atau hatimu condong pada maksiat, lalu engkau lakukan shalat, maka terhapuslah semua keinginan jelek tersebut. Namun tentu saja hal itu dengan syarat, shalat itu adalah shalat yang sempurna. Wajib kita meminta pada Allah agar kita diberi pertolongan untuk mendapat bentuk shalat seperti itu. Marilah kita sempurnakan shalat tersebut sesuai dengan kemampuan kita dengan memenuhi rukun, syarat, wajib, dan hal-hal yang menyempurnakan shalat. Karena memang shalat itu bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Sebagian ulama salaf sampai berkata, jikalau shalat yang kita lakukan tidak mencegah dari yang mungkar, maka sungguh itu berarti kita semakin jauh dari Allah. Nas-alullah al ‘afiyah, kita mohon pada Allah keselamatan. Karena bisa jadi shalat yang kita lakukan tidak sesuai yang dituntut. Lihatlah para ulama salaf dahulu, ketika mereka masuk dalam shalat mereka, mereka tidak merasakan lagi apa-apa, semua hal di pikiran disingkirkan kecuali hanya sibuk bermunajat dengan Allah Ta’ala.” (Syarh Riyadhis Sholihin, 5: 45-46).
Terhanyut dalam Shalat yang Khusyu’

Coba perhatikan bagaimana shalat dari para ulama salaf yang sangat konsentrasi ketika shalatnya. Ada seorang fuqoha tabi’in yang bernama ‘Urwah bin Zubair. Beliau terkena penyakit akilah pada sebagian anggota tubuhnya di mana penyakit tersebut dapat menggerogoti seluruh tubuh. Akibatnya, dokter memvonis anggota tubuh yang terkena akilah tersebut untuk diamputasi sehingga anggota tubuh yang lain tidak terpengaruh. Bayangkan saat itu belum ada obat bius supaya bisa menghilangkan kesadaran ketika diamputasi. Lalu ia katakan pada dokter untuk menunda sampai ia melakukan shalat. Tatkala ia melakukan shalatnya barulah kakinya diamputasi. Dan ia tidak merasakan apa-apa kala itu karena hatinya sedang sibuk bermunajat pada Allah. Demikianlah, hati jika sudah tersibukkan dengan sesuatu, maka tidak akan merasakan sesuatu yang terkena pada badan.

Itu yang diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhis Sholihin (5: 46) ketika melanjutkan penjelasan sebelumnya. Lihatlah shalat para ulama begitu sempurna, segala macam kesibukan dibuang jauh-jauh, hingga kakinya diamputasi pun, mereka tidak merasakan apa-apa karena sedang terhanyut dalam shalat. Itulah shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Bagaimana Bentuk Shalat yang Sempurna?
Kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melanjutkan, “Ketika shalat, seharusnya seseorang mengkonsentrasikan diri untuk dekat pada Allah. Jangan sampai ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebagaimana kebiasaan sebagian orang yang shalat. Jangan sampai terlintas di hati berbagai pikiran ketika sudah masuk dalam shalat.” (Idem)

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Bentuk shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar ditandai dengan menyempurnakan shalat yaitu memenuhi rukun, syarat, dan berusaha khusyu’ dalam shalat. Hal ini ditandai dengan hati yang bersih, iman yang bertambah, semangat melakukan kebaikan dan mempersedikit atau bahkan menihilkan tindak kejahatan. Lantas hal-hal tersebut terus dijaga, maka itulah yang dinamakan shalat yang mencegah perbuatan keji dan mungkar. Inilah di antara manfaat  terbesar dan buah dari shalat.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 632).

Kesimpulannya dari judul yang disampaikan di awal. Shalat memang bisa mencegah dari perbuatan dosa dan maksiat, serta bisa mengajak pada kebaikan. Namun dengan syarat shalat tersebut dilakukan dengan:
  1. Memenuhi rukun, syarat, wajib dan melakukan hal-hal sunnah yang menyempurnakan shalat.
  2. Membuang jauh-jauh hal-hal di luar shalat ketika sedang melaksanakan shalat.
  3. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri ketika sedang melaksanakan shalat.
  4. Menghadirkan hati saat shalat dengan merenungi setiap ayat dan bacaan yang diucap.
  5. Bersemangat dalam hati untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Jika ternyata tidak demikian shalat kita, maka patutlah kita mengoreksi diri. Dan tidak perlu jadikan shalat tersebut sebagai “kambing hitam”. Dari sahabat Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
“Barangsiapa yang mendapati kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapati selain dari itu, janganlah ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim no. 2577).



Semoga kita dianugerahi bentuk shalat yang benar-benar dapat mencegah kita dari dosa dan maksiat serta mudah membawa kita pada kebajikan.
Akhukum fillah,
Muhammad Abduh Tuasikal (Rumaysho.Com)
Diselesaikan saat hujan mengguyur Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 17 Muharram 1435 H, 10: 28 PM.

Suami Kerja,Isteripun Kerja ! Bagaimana Keluarga?

Oleh : Ustadz Fatih Karim

Suami Kerja,Isteripun Kerja ! Bagaimana Keluarga?
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Suami gaji 4 juta, istri gaji 3 juta, total penghasilan keluarga 7 Juta.
Kalau istri berhenti kerja, penghasilan keluarga tetap 7 juta. Karena Rezeki istri melalui suami. Dengan beragam cara bila Allah sudah berkehendak.
Bisa Suami naik gaji
Bisa Bisnis Suami sukses.

Jadi bagi para istri yang masih kekeuh bekerja dengan alasan nanti penghasilan keluarga berkurang, Apakah para Istri lupa bahwa ada Allah yang menjamin Rizki buat Suami yang akan diberikan ke keluarga?

Tugas utama seorang Isteri adalah "Ummu Warobatul Bait " ibu dan pengatur Rumah Tangga. Jika tugas utama ini terabaikan dengan aktifitas mubahnya dalam bekerja maka hukum bekerja menjadi tidak diperbolehlan. Karena jika hilang fungsi isteri dan seorang ibu maka kehancuran generasi sudah menjadi suatu kepastian, karena merka adalah madrasatul ula (pendidikan pertama dan utama) bagi anak- anaknya.
Semoga bermanfaat.

Sumber: www.IslamicStore.co.id yg diedit dan ditambahkan

GODAAN 10 AKHIR RAMADHAN


Ramadhan merupakan bulan istimewa karena Allah SWT menjanjikan rahmad berlimpah dan pahala yang berlipat ganda. Terlebih jika sudah memasuki 10 malam terakhir, maka kualitas dan kuantitas ibadah seharusnya lebih ditingkatkan lagi. Pasalnya pada sepuluh hari terakhir Ramadhan terdapat malam Lalatul Qadar yang memiliki keutamaan lebih dari seribu bulan.

Sayang, Umat Islam kerap lalai pada waktu-waktu tersebut. Dengan berbagai kesibukan jelang lebaran, aktivitas beribadah justru menurun. Sementara ladang pahala yang lewat di hadapan kita dibiarkan berlalu tanpa perhatian. Godaan-godaan itu bisa lebih sukses menghalangi atau menunda kita untuk ibadah. Berikut ini godaan fase 10 hari terakhir Ramadhan. 

1. Malas
Malas adalah sindrom yang bisa menyerang ketika Ramadhan sudah berjalan setengah jalan. Perasaan malas yang menyerang bisa menurunkan grafik kualitas dan kuantitas ibadah seseorang. Terlebih jika sudah memasuki setengah perjalanan bulan Ramadhan, maka  semakin lama semakin menumpuk dan  bisa mencapai titik terendah. 

2. Kumpul-kumpul Bersama Teman
Sepuluh hari terakhir dianggap sebagai hari-hari liburan. Biasanya pada hari-hari ini kita akan disibukkan dengan aktivitas berbuka puasa bersama, melepas rindu dengan teman-teman lama dan acara yang bisa berlanjut hingga malam hari. Dari satu sisi, hal tersebut bisa mempererat tali silaturahmi, namun disisi lain, hal ini lah  yang menyebabkan manusia lalai. Biasanya aktivitas ini rentan terhadap penundaan ibadah yang seharusnya dilakukan. Seperti shalat magrib, tarawih, atau kegiatan membaca Al-Quran. Biasanya jika sudah menunda sesuatu hal, maka ini akan berdampak pada perasaan malas berkepanjangan. 

3. Berbelanja
Hal ini pasti dirasakan semua orang. Menjelang idul fitri, tingkat kebutuhan akan semakin meningkat. Semua orang akan sibuk untuk membeli perlengkapan lebaran seperti baju baru dan kue lebaran dll. Alhasil mereka melupakan bahwa pada 10 malam terakhir tersebut bisa membawa umat terbebas dari panasnya api neraka karena ada malam Lailatul Qadar. 

4. Jalan-Jalan + Nongkrong
Fase 10 malam terakhir juga renta terhadap aktivitas jalan-jalan dan nongkrong dengan kawan lama. Biasanya hal ini dilakukan setelah buka puasa bersama, dilanjutkan dengan jalan-jalan dan nongkrong bersama teman-teman. Hal Ini membuat yang biasanya aktif teraweh di masjid mendadak cuti teraweh di masjid. Syukur-syukur setelah kumpul-kumpul teraweh tetap jalan, kalo gak ya berarti dapat sindrom malas sesuai point 1 tadi 

5. Mudik
Mudik adalah agenda wajib bagi perantau saat memasuki hari lebaran. Aktivitas ini dilakukan sebelum lebaran atau bertepatan dengan sepuluh malam-malam terakhir Ramadhan. Tujuannya jelas silaturahim dengan keluarga, hanya saja ada baiknya ibadah seperti i’tikaf, qiyamul lail, tilawah tidak ditinggalkan karena sibuk bersilaturahim. 

Pastinya kita sudah sering mengalami godaan ini bukan? Bulan Ramadhan yang seyogyanya menjadi waktu agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah harus terlewat begitu saja tanpa ibadah karena aktivitas tersebut. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan introspeksi dan terimakasih sudah membaca.

Kisah‬ seorang istri yang bisa membuat suaminya tergila-gila padanya




Seorang Ayah bercerita pd anak perempuannya, 

Suatu hari seorang wanita tua diwawancarai oleh seorang presenter dalam sebuah acara tentang rahasia kebahagiaannya yang tak pernah putus.
Apakah hal itu karena ia pintar memasak? Atau karena ia cantik? Atau karena ia bisa melahirkan banyak anak, ataukah karena apa?
Wanita itu menjawab :
“Sesungguhnya rahasia kabahagiaan suami istri ada di tangan sang istri, tentunya setelah mendapat taufik dari Allah. Seorang istri mampu menjadikan rumahnya laksana surga, juga mampu menjadikannya neraka.
Jangan Anda katakan karena harta!
Sebab betapa banyak istri kaya raya namun ia rusak karenanya, lalu sang suami meninggalkannya.
Jangan pula Anda katakan karena anak-anak!
Bukankah banyak istri yang mampu melahirkan banyak anak hingga sepuluh namun sang suami tak mencintainya, bahkan mungkin menceraikannya.
Dan betapa banyak istri yang pintar memasak.
Di antara mereka ada yang mampu memasak hingga seharian
tapi meskipun begitu ia sering mengeluhkan tentang perilaku buruk sang suami.”
Maka sang peresenter pun terheran, segera ia berucap:
“ Lantas apakah ‪#‎rahasia‬ nya?”
Wanita itu menjawab:
“ Saat suamiku marah dan meledak-ledak, segera aku diam dengan rasa hormat padanya. Aku tundukkan kepalaku dengan penuh rasa maaf.
Tapi janganlah Anda diam yang disertai pandangan mengejek, sebab seorang lelaki sangat cerdas untuk memahami itu.”
“ Kenapa Anda tidak keluar dari kamar saja?” tukas presenter.
Wanita itu segera menjawab:
“Jangan Anda lalukan itu! Sebab suamimu akan menyangka bahwa Anda lari dan tak sudi mendengarkannya. Anda harus diam dan menerima segala yang diucapkannya hingga ia tenang.
Setelah ia tenang, aku katakan padanya;
'Apakah sudah selesai?'
Selanjutnya aku keluar….
sebab ia pasti lelah dan butuh istirahat setelah melepas ledakan amarahnya.
Aku keluar dan melanjutkan kembali pekerjaan rumahku.”
“ Apa yang Anda lakukan? 
Apakah Anda menghindar darinya dan tidak berbicara dengannya selama sepekan atau lebih?” tanya presenter penasaran.
Wanita itu menasehati:
“ Anda jangan lakukan itu, sebab itu kebiasaan buruk. Itu senjata yang bisa menjadi bumerang buat Anda.
Saat Anda menghindar darinya sepekan sedang ia ingin meminta maaf kepada Anda, maka menghindar darinya akan membuatnya kembali marah.
Bahkan mungkin ia akan jauh lebih murka dari sebelumnya.”
“ Lalu apa yang Anda lakukan?” tanya sang presenter terus mengejar.
Wanita itu menjawab:
“ Selang dua jam atau lebih, aku bawakan untuknya segelas jus buah atau secangkir kopi, dan kukatakan padanya,
Silakan diminum.
Aku tahu ia pasti membutuhkan hal yang demikian, maka aku berkata-kata padanya seperti tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya.”
“ Apakah Anda marah padanya?” ucap presenter dengan muka takjub.
#‎Wanita‬ itu berkata:
“Tidak.
Dan saat itulah suamiku mulai meminta maaf padaku dan ia berkata dengan suara yang lembut.”
“Dan Anda mempercayainya?” ujar sang presenter.
Wanita itu menjawab:
“Ya. Pasti. Sebab aku percaya dengan diriku dan aku bukan orang bodoh.
Apakah Anda ingin aku mempercayainya saat ia marah lalu tidak mempercayainya saat ia tenang?”
“Lalu bagaimana dengan harga diri Anda?” potong sang presenter.
“Harga diriku ada pada ridha suamiku dan pada tentramnya hubungan kami.
Dan sejatinya antara suami‬ istri‬ sudah tak ada lagi yang namanya harga diri.
Harga diri apa lagi ?!!!
Padahal di hadapan suami Anda, Anda telah lepaskan semua pakaian Anda!”

Copas [Cuplikan dari statusnya Ustadz Fairuz Ahmad]
Like dan Share Semoga lebih banyak yang mendapatkan manfaat.
Terimakasih

Segeralah Menikah Sebelum Engkau Terfitnah atau Menjadi Fitnah

Antara Menikah, Thalibul Ilmi, Kuliah dan Karir


Tanya: Assalamu’alaikum. Ustadz, ana mau tanya: manakah yang harus didahulukan antara menikah dengan thalabul ilmi? Bolehkah menunda nikah dengan alasan masih ada janji yang belum dipenuhi kepada orang tuanya dan menunda nikah hanya untuk mengejar karir atau menyelesaikan studi kuliahnya? Mohon dijelaskan karena masih banyak akhwat yang menunda nikah. Atas jawabannya saya ucapkan jazakallahu khairan.

Jawab:
Wa’alaikumussalaam warahmatullah. Adapun menunda nikah dengan alasan ada janji yang belum ditepati kepada orang tua atau dengan alasan karir atau dengan alasan menyelesaikan studi, maka semua alasan ini bukanlah alasan yang dibenarkan dalam agama untuk menunda pernikahan. Adapun menunda pernikahan karena menuntut ilmu, maka di sini ada beberapa keadaan:

1. Dia belum ingin menikah dan bisa menjaga dirinya dari maksiat. Hafalannya serta pemahamannya bagus, dan dia bisa memberikan manfaat kepada kaum muslimah secara umum dengan ilmunya. Maka dalam keadaan seperti ini sebaiknya dia menuntut ilmu terlebih dahulu sebelum menikah.
2. Dia sudah sangat ingin menikah dan khawatir dirinya akan terjatuh ke dalam maksiat jika dia tidak segera menikah. Dalam keadaan seperti ini dia wajib untuk segera menikah walaupun hafalan dan pemahamannya bagus.
Selain dari kedua keadaan di atas dia boleh memilih, tapi sebaiknya dia segera menikah karena itu akan lebih menjaga dirinya dan kehormatannya.

Dalil mengenai hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Kalau ada seseorang yang kalian ridhai akhlak dan agamanya, datang kepada kalian (untuk melamar) maka nikahkanlah dia. Kalau tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar. (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits ini disimpulkan bahwa seorang wanita disyariatkan untuk segera menikah jika sudah ada yang melamarnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Akhwat Shalihah, vol. 8/1432/2010, hal. 86-87.

Nasihat Bagi Orang Tua Muslimah yang Telah Dilamar Namun Menunda Pernikahan karena Alasan Studi
Penulis: Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Alu Fauzan

Soal: Ada adat yang terjadi, yaitu orang tua yang menolak anak perempuannya untuk dinikahi (ketika ada yang melamarnya) dengan alasan menyelesaikan studi di Universitas atau belajar untuk beberapa tahun. Apa hukumnya? Bagaimana nasehat Syaikh bagi mereka? karena terkadang ada sebagian muslimah yang belum menikah pada umur 30 tahun atau lebih.

Jawab : Hukum perkara yang demikian adalah menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau bersabda: ”Apabila datang kepada kalian seseorang yang diridhai (baik) agamanya maka nikahkanlah.” (HR. At-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits hasan).

Wahai para pemuda barangsiapa di antara kalian yang telah mampu memberikan ba’ah (mahar, nafkah, dll.) maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu menundukkan pandangan, dan menjaga farj (kemaluan).(HR.Al-Bukhari dan Muslim).

Melarang menikah mengakibatkan seseorang tidak mendapatkan maslahat nikah (kebaikan-kebaikan yang didapat dalam pernikahan). Oleh sebab itu saya nasehatkan kepada para wali perempuan dan para muslimah agar tidak melarang seseorang yang akan menikah dengan alasan menyelesaikan studi atau belajarMemungkinkan bagi seorang perempuan mensyaratkan pada suaminya untuk menemani sampai selesai studinya dengan syarat tidak disibukkan dengan anak-anaknya. Yang seperti ini boleh. Akan tetapi, keberadaan perempuan yang belajar pada tingkat universitas adalah suatu hal yang tidak perlu.

Saya pandang, sesungguhnya apabila seorang perempuan telah selesai studinya pada tingkat Ibtidaiyah (di Makkah) yang menjadikannya mampu membaca dan menulis, kemudian diamalkan untuk membaca kitabullah dan tafsirnya, hadits-hadits Rasulullah dengan syarah-nya (penjelasannya), maka sudah cukup baginya. Kecuali apabila ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu yang dibutuhkan manusia, seperti ilmu kedokteran. Meskipun demikian, tetap dengan syarat tidak adanya ikhthilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan di satu tempat) atau yang lainnya.

(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab As ilah Muhimmah) Sumber: Buletin Al Atsary, Semarang Edisi 22/1428. Dikirim via email oleh Al Akh Dadik

Sebab-Sebab Yang Menjadikan Dosa Kecil Dihukumi Sebagai Dosa Besar (3)

Sebab-Sebab Yang Menjadikan Dosa Kecil Dihukumi Sebagai Dosa Besar (3)

Sebab ke empat: Melakukan dosa secara terang-terangan (al-mujaharah)

Terang-terangan dalam melakukan perbuatan dosa akan menyebabkan dosa kecil bisa dihukumi sebagai dosa besar. Orang yang terang-terangan berbuat dosa, maka dia akan menyebabkan orang lain untuk ikut-ikutan dan mendorong mereka untuk meniru perbuatan dosa tersebut. Selain itu, orang tersebut juga akan menghias-hiasi perbuatan dosa tersebut (sehingga tampak indah dan menyenangkan di mata manusia) dan pada akhirnya mereka menganggap dosa tersebut sebagai perbuatan yang baik. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa secara terang-terangan akan mendapatkan hukuman dan adzab yang pedih dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang.” (QS. An-Nisa [4]: 148).
Dalam ayat di atas, tidak adanya kecintaan dari Allah Ta’ala menunjukkan adanya murka Allah Ta’ala. Kemurkaan Allah Ta’ala atas orang-orang yang melakukan perbuatan buruk secara terang-terangan menunjukkan besarnya perbuatan dosa yang dilakukan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Seluruh umatku akan dimaafkan, kecuali yang berbuat dosa secara terang-terangan. Sesungguhnya, yang termasuk dalam berbuat dosa secara terang-terangan adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari, kemudian pada pagi harinya Allah tutupi dosa tersebut (Allah tidak tampakkan pada pandangan manusia, pen.). Orang tersebut kemudian berkata, ‘Wahai fulan, semalam aku berbuat demikian dan demikian.’ Padahal sungguh di malam harinya, Rabb-nya telah menutupi dosa yang dia lakukan, namun di pagi harinya dia sendiri yang membuka tutup Allah tersebut.” (HR. Bukhari no. 6069).
Hadits ini menunjukkan tidak adanya ampunan Allah Ta’ala bagi orang yang berbuat dosa secara terang-terangan. Dan juga menunjukkan besarnya dosa yang menyebabkan datangnya hukuman yang sangat keras tersebut.

Sebab ke lima: Tertipu ketika Allah Ta’ala menutupi dosa yang dilakukan

Ketika seseorang merasa tertipu ketika Allah Ta’ala menutupi dosa yang kita lakukan dan juga tertipu dengan kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, maka hal ini akan mendatangkan hukuman yang besar.
Az-Zubaidi rahimahullah berkata,”Tertipu ketika Allah menutup dosa (seorang hamba) dan meremehkan kasih sayang Allah Ta’ala, meskipun dia (melakukan) dosa kecil, akan tetapi bisa menjadi (dosa) besar. Hal ini karena akan menyebabkan seseorang merasa aman dari makar Allah, yang merupakan dosa besar.” (Ittihaf As-Saddah Al-Muttaqin, 8/572).
Dan sungguh Allah Ta’ala telah mengancam adanya kerugian bagi orang-orang yang merasa aman dari makar (tipu daya) Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf [7]: 99).
Kasih sayang atau berbagai nikmat yang diberikan kepada pelaku maksiat inilah yang disebut dengan istidroj. Bentuknya, Allah Ta’ala membukakan pintu-pintu kenikmatan duniawi kepada orang yang banyak mengerjakan maksiat. Akhirnya, dia pun tertipu dan terperdaya. Orang tersebut merasa bahwa dia tidak berbuat dosa, sehingga dia pun terus tenggelam dalam kemaksiatannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ …
Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidroj …” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (IV/145) no. 17349. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 413).
Allah Ta’ala berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]: 44).

Sebab ke enam: Dosa kecil yang dilakukan oleh ulama atau ustadz yang dijadikan sebagai teladan

Seorang ulama, jika berbuat dosa kecil, maka dosa tersebut bisa dihukumi sebagaimana dosa besar. Hal ini karena ulama tersebut memiliki kedudukan di masyarakat sebagai teladan atau dijadikan sebagai panutan dalam praktek beramal dalam rangka mengikuti perintah Allah Ta’ala. Jika perbuatan tersebut diikuti oleh orang-orang awam, maka dosa kecil tersebut bisa dihukumi sebagaimana dosa besar.
Al-Ghazali rahimahullah berkata,”Jika dosa kecil muncul dari seorang ulama yang diteladani (amalnya), maka hal itu adalah perkara yang besar, karena akan kekal setelah kematiannya.” (Al-Arba’in fi Ushuulid Diin, hal. 226).
Tidak hanya dihukumi sebagai dosar setelah ulama tersebut meninggal saja, namun juga ketika ulama tersebut masih hidup. Karena ketika itu, perbuatan dosa tersebut akan diikuti oleh orang-orang awam dan menjadi tersebar luas di masyarakat.
Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
[Selesai]
***
Selesai disusun di pagi hari yang cerah, Sint-Jobskade Rotterdam NL, 8 Rajab 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Disarikan dengan beberapa penambahan seperlunya dari kitab At-Taubah, fii Dhau’il Qur’anil Kariim, Dr. Amaal binti Shalih Naashir, Daar Andalus Khadhra’, cetakan pertama, tahun 1419, hal. 140142.

INDAHNYA SUASANA KEHIDUPAN KITA YANG MENENTUKAN

KITA YANG HARUS MENCIPTAKAN

Ciptakan suasana Hati yang bersemangat dan sikap positif maka lingkungan anda akan ikut semangat dan positif.

Jangan jadi orang yg hanya terpengaruh suasana, namun justru kitalah yang harus pandai-pandai mempengaruhi dan memberi pengaruh kepada suasana.

Setuju .. !!!

Sebuah kisah,
Seorang teman penulis mengeluhkan kondisi didalam rumah tangganya, mulai dari tidak harmoninya terasa keseharian jika dia berada di rumah bersama keluarga. Dia seolah butuh suasana yang beda dari ketika dia sibuk dengan rutinitas pekerjaanya sehari-hari namun tak ditemukannya.

Merasa sendiri dalam keramaian, merasa tak ada yang peduli pada dirinya, dan aneka rasa suasana dihadapinya yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya.

Sampai akhirnya dia lebih memutuskan untuk mencari suasana keluar, dengan berkumpul dengan teman-temannya. Namun dia semakin tidak menemukan suasana yg seperti diharapkannya.

Sampai suatu malam dia berjumpa dengan penulis, dan mendapatkan sebuah kalimat, bahwasanya "suasana yang diharapkan tak selamanya itu terjadi begitu saja dan tak selamanya lingkungan kita yang memberikan suasana seperti maunya kita. Biarlah dimanapun lingkungan kita berada, namun kitalah yang harus menciptakan setiap suasana dengan hati dan sikap kita". Dan berikanlah pengaruh baik pada suasana baik kepada lingkungan kita. Dan kitalah Pencipta suasana itu, tidak harus menunggu tercipta dari orang lain.

Semenjak pertemuan dengan penulis tersebut, hari-haripun dia lalui dengan dia pencipta suasana hatinya, dia sang pemberi pengaruh terhadap suasana dilingkungannya.

Jadilah pelaku, jadilah pemberi pengaruh. Kapan saja dan dimana saja, Tentunya pengarus positif dan penuh semangat kebaikan serta semangat yang dilandasi keimanan serta mengharap ridho Allah SWT.

InsyaAllah kita bisa menjadi hamba-hamba yang selalu menjadi penebar, penyejuk dan penghibur serta pemberi manfaat pada sesama.

SALAMMUALAIKUM,
ditulis oleh : Irawadi Hazar di Padang

Semoga Bermanfaat,
Silahkan dishare, jika bermanfaat

Lazada Indonesia
toko buku islam
 
Support : Creating Website | Aldhiya Computer | Islam dan Wanita
Copyright © 2011. Islam dan Wanita - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Aldhiya Computer
Proudly powered by Blogger