>
Artikel Lainnya
Showing posts with label Persiapan Rumah Tangga. Show all posts
Showing posts with label Persiapan Rumah Tangga. Show all posts

13 ADAB ISTERI TERHADAP SUAMI YANG PATUT KITA KETAHUI


1.   Semasa suami bercakap hendaklah isteri diam mendengarnya dan jangan suka menyampuk atau memotong cakapnya.

2.     Bila suami marah hendaklah isteri mendiamkan diri, jangan suka menjawab. Sikap suka menjawab, bertekak dan menegakkan kebenaran sendiri akan menambahkan lagi kemarahan suami. Jangan terkejut jika suami angkat kaki meninggalkan rumah berhari-hari atau tidak mahu bertegur sapa dengan anda sebagai denda di atas kedegilan anda sebagai isteri. Sebaliknya, kalau suami kembali ke rumah jangan disambung atau diulang-ulangi cerita lama. Sambutlah suami dengan senyuman kasih sayang dan bersegeralah meminta maaf. Jangan kita tunggu suami meminta maaf dengan isteri, jatuhlah martabat keegoannya selaku seorang lelaki.

3.      Kadang-kadang si suami sengaja suka mengusik isterinya. Bila dia menyakiti hati isteri hendaklah banyak bersabar, jangan cepat merajuk. Merajuk adalah sifat orang yang tidak matang dan seperti perangai keanak-anakan. Cuba kita perhatikan perangai kanak-kanak, mereka akan cepat menjerit bila ada sesuatu yang tidak kena tambahan pula kalau yang menegurnya itu ibunya sendiri.

4.  Bila kuku, misai dan janggutnya panjang hendaklah segera dipotongkan (jika panjang janggutnya lebih dari segenggam).

5.    Jika dia berhajat sesuatu hendaklah isteri cepat bertindak. Bangun segera bila disuruh. Jangan melengah-lengahkan kemahuannya supaya tidak mencetuskan kemarahan atau rasa tersinggung dihatinya.Jangan isteri buat acuh tak acuh, hatinya akan kecewa dan menandakan isteri sudah tidak taat padanya.

6.       Hendaklah memasak mengikut kesukaan suami bukannya ikut selera isteri. Kalau suami suka makan gulai kari atau masak lemak cili api, janganlah kita masak lauk asam pedas atau ikan goreng. Suami akan gembira bila seleranya ditepati.

7.       Apabila pakaian suami koyak atau tercabut butangnya hendaklah segera dijahit. Jahitlah dengan secantik yang boleh supaya pakaian itu kelihatan kemas dan cantik. Jangan dibuat sambil lewa kerana jahitan tersebut akan melambangkan peribadi isteri samada ikhlas atau terpaksa. Semua suami akan berasa bangga jika pakaiannya dijahit sendiri oleh jari-jemari halus isterinya, sekurang-kurangnya dapat menampung ekonomi rumahtangga.

8.       Sentiasa sediakan barang-barang keperluan di dalam poket baju dan seluar suami iaitu sikat, celak, cermin kecil, minyak wangi dan kayu sugi. Tidak menjadi kesalahan seandainya si suami menolak segala persediaan tersebut tetapi sekurang-kurangnya sediakanlah minyak wangi dan kayu sugi.

9.       Bila bertembung kehendak suami dan anak-anak, dahulukanlah kehendak suami, begitu juga dengan kehendak ibu ayah. Sekiranya suami ingin dilayan hendaklah ditaati meskipun isteri berada di dalam keadaan letih. Melayani suami merupakan satu pahala besar keatas setiap isteri.

10.   Apabila menggunakan harta suami ataupun duit yang hendak kita hadiahkan kepada ibu bapa maka mintalah izin darinya terlebih dahulu. Jangan beri dahulu kemudian baharu diberitahu kepadanya. Siapa tahu mungkin wang itu amat diperlukan sedangkan isteri sewenang-wenangnya telah menghadiahkan kepada orang lain, suami dapat pahala sedangkan isteri tidak dapat apa-apa. Sebenarnya meminta izin itu ialah sebelum melakukan sesuatu tindakan bukannya setelah perkara itu berlaku diberitahu. Ini silap sebenarnya tapi kes-kes seperti inilah yang sering berlaku di kalangan para isteri.

11.   Sentiasa berada di dalam keadaan bersih dan kemas ketika suami berada di rumah. Isteri hendaklah berada di dalam keadaan berwangi-wangian supaya hatinya senang untuk bersenda gurau dengan isterinya. Ketahuilah bahawa bersenda gurau antara suami isteri juga merupakan salah satu ibadah yang diredhai oleh Allah swt.

12.   Air minum suami hendaklah sentiasa disiapkan jangan sampai dia minta biarpun sekadar air masak sejuk. Sebaik-baiknya sediakanlah minuman panas seperti kopi, teh atau susu. Kalau boleh sediakan makanan ringan seperti kuih-muih dan biskut. Hal ini juga dapat mengelak anak-anak dari membeli makanan ringan di kedai yang tidak mengandungi zat di samping tidak terjamin kebersihannya.


13.   Hendaklah isteri sentiasa menghormati dan memuliakan keluarga suami. Bersikap ramah-tamahlah dengan keluarganya dan bersabarlah di atas segala tindakan mereka walaupun kita kurang menyukai.

Kisah Inspirasi: Izinkan Saya Berzina dengan Anak Bapak






Suatu hari sepasang muda-mudi akan pergi untukberjalan-jalan. Setibanya pemuda di rumah orang tua sang gadis untuk menjemputnya.
Gadis: Masuk dulu ya, bertemu sama ayah
Pemuda : Boleh kah?
Gadis: Masuk saja, saya bersiap-siap dulu.
Masuklah sang pemuda melalui pintu utama. Pintu yang siap terbuka mengelu-elukan kedatangan si pemuda.
Pemuda : Assalamualaikum.
Ayah Gadis : waalaikumussalam!
Mendengar lantangnya suara Ayah si gadis, si pemuda kaku membatu. Lantas si gadis menyadarkan pemuda dari lamunan itu. Entah apa yang dipikirkannya.

Pengertian Menikah dan Hukumnya

Pengertian Menikah dan Hukumnya

 

Pengertian Nikah

Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.[1]  Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu”  artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata”  artinya telah menggauli di organ kewanitaannya..[2]  
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual” . [3]  

Kata Nikah Dalam Al Qur’an
Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual.
Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
 “Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [4]

Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
 “Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [5]

Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” [6] 

Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah.[7] Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.[8]

Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا 
“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual) dengannya." [9]

Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”[10]
Dalam riwayat lain disebutkan :
اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع
“ Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali  jima’”[11]
 
Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad  nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki  menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.[12]

 Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain.[13] Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin. [14]

Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan  seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab .[15] 

  Hukum Menikah

Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.

I.                    Hukum Asal Dari Pernikahan

Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama,[16] berkata Syekh al-Utsaimin :
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“ [17]  
Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :

Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ  
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .” [18]
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan  bahwa : “al ashlu fi al amr  lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).

Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala   , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala    :
ô وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)” [19]  

Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :  
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.” [20] 
  
Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin : 
“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram. “[21]   
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.

 Pendapat Kedua :  bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “[22]
Dalil-dalil mereka adalah :

Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala     :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [23]
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala    memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “[24]    
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).

Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.

II. Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa  atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah  bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.[25]  
 Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. [26]
 Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. 
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.[27]
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.   
Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. [28]
Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah  pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.[29]
Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya yang disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam  

 


[1] Penulis sudah mencari dalam kamus : Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandhur, Mukhtar ash- Shihah karya Muhammad ar- Razi, dan al-Misbah al-Munir karya al-Fayumi, ternyata tidak mendapatkan arti nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung, tapi penulis mendapatkan pengertian ini di Kifayah al-Akhyar, karya Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, hlm : 462.  
[2] Perkataan al-Fara’ diatas disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam  Syarh Shahih Muslim  juz : 9, hlm : 171
[3]  Sofiyurrahman al-Mubarakfuri, Ittihaf al Kiram, hlm. 288, Abu Bakar al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm.349
[4] Qs. an-Nisa’ : 3
[5] Qs. an-Nisa : 22
[6] Qs. al- Baqarah : 230
[7] Ibnu Qudamah di dalam kitab al-Mughni, juz : 7, hlm : 333, ( Dar al-Kitab al-Arabi ) mengatakan : “ Disebutkan bahwa lafadh nikah di dalam al-Qur’an tidak ada yang artinya melakukan hubungan seksual, kecuali firman Allah subhanahu wa ta’ala  : “ hatta tanhika zaujan ghairahu ( 2 : 230 ) “.
[8] Ibnu al-Arabi di dalam buku  Ahkam al-Qur’an, juz : 1, hlm : 267 menyebutkan bahwa Sa’id bin al-Musayib berpendapat  bahwa seorang perempuan yang telah dicerai suaminya tiga kali, maka dia menjadi halal lagi bagi suaminya yang pertama, jika sudah melakukan akad nikah dengan suami yang kedua, tanpa harus melakukan hubungan seksual dengannya berdasarkan dhahir dari ayat di atas ( Qs 2 : 230 ), kemudian Ibnu Arabi membantah pendapat tersebut. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa istri yang sudah dicerai 3 kali, harus melakukan hubungan seksual dengan suami yang kedua sebelum kembali kepada suami yang pertama ( Muhammad Syamsul al-Haq al –Adhim Abadi, Aun al-Ma’bud, juz : 6, hlm : 301 )   
[9] HR Bukhari dan Muslim. Lafadh di atas  dari riwayat Abu Daud.
[10] HR. Muslim
[11] Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah
[12] Penjelasan di atas disebutkan oleh al- Farisi dan dinukil oleh Abu Bakar bin Muhammad al Husaini di dalam Kifayah al-Akhyar, hlm : 460. Dan disebutkan juga oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79.  
[13] Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al-Akhyar, hlm : 460
[14] Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79.  
[15]  Pendapat Zamakhsari ini dinukil oleh Syekh Kamil Muhammad Uwaidhah di dalam komentarnya pada buku Kifayah al Akhyar, hlm : 460. Beliau juga memilih pendapat ini dengan alasan bahwa Zamakhsari adalah ahli bahasa yang lebih unggul dibanding dengan yang lainnya.  Lihat juga di Ibnu al-Mandhur, Lisan al-Arab, juz : 2, hlm : 626
[16] Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz : 6, hlm : 117
[17] Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz : 3, hlm : 179
[18] HR. Bukhari dan Muslim
[19] Qs. ar- Ra’du : 38
[20] HR. Bukhari dan Muslim
[21] Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 80.
[22] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 173
[23] Qs. an-Nisa’ : 3
[24] Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 174.
[25] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 172
[26] Contoh ini disebutkan oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh Bulughul Maram, juz : 4, hlm : 180. Penulis sendiri masih belum bisa memahami secara utuh contoh yang disebutkan oleh beliau. Tetapi yang jelas contoh tersebut  berbeda dengan apa yang disebutkan oleh imam an-Nawawi  di dalam Syarh Shohih Muslim yang mengatakan bahwa  seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh. Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. (  An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 174 )
[27] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 174
[28] Yusuf ad-Duraiwisy,  Nikah Siri, Mut’ah dan Kontrak , Jakarta, Dar al-Haq, Cet-1, 2010. 
[29]Al-Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, juz : 4, hlm :179

Masihkah Menunda Pernikahan?


Jika kita perhatikan kondisi pergaulan pemuda dan pemudi hari ini, sebagian besar banyak yang memutuskan untuk menunda pernikahan mereka dengan berbagai alasan. Terutama bagi laki laki, banyak yang menunggu  kehidupannya mapan dulu baru merencanakan pernikahan karena merasa jika menikah terlalu dini khawatir tak mampu memberikan kehidupan yang baik pada keluarganya kelak. Biasanya rencana mereka adalah selesaikan kuliah dulu, kemudian cari kerja dan berkarier di perusahaan kira kira 3-5 tahun, kemudian pelan-pelan mengumpulkan biaya untuk modal nikah dan berumah tangga. Sehingga sebagian besar menikah diatas usia 25 tahun, bahkan ada yang sampai diatas usia 30 tahun baru mulai merencanakan pernikahan. Dan pemahaman seperti ini sudah umum dimasyarakat kita.
“Wahai generasi muda! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Kata “mampu” pada hadits di atas bukanlah berarti harus mapan. Penekanan kata mampu pada hadits tersebut adalah kesiapan dengan penuh tanggung jawab untuk memikul beban berumah tangga, siap secara konsisten berikhtiar dalam memenuhi kewajiban dalam mensejahterakan keluarga. Tidak ada keharusan harus memiliki penghasilan tetap, menduduki posisi yang bagus di perusahaan, bergaji besar, punya rumah, kendaraan dan seterusnya.
Jika kita mau jujur, persepsi yang terpatri dalam benak sebagian pemuda kita hari ini adalah ukuran ukuran duniawi, yang akhirnya menyulitkan langkah mereka sendiri menuju indahnya pernikahan, sehingga tidak jarang mereka tanpa sadar telah membiarkan mata, telinga dan kemaluan mereka tidak terpelihara.
Lebih menyedihkan lagi, persepsi ini juga masih menjadi sistem dalam pemikiran sebagian dari para pemuda yang notabene saat ini telah bertekat menginfakkan harta dan jiwanya di jalan dakwah. Alasan apalagi kah kiranya yang membuat saudara saudara lelakiku sehingga masih menunda pernikahan? Sementara jumlah akhwat yang semakin cemas dengan usia mereka terus semakin panjang deretannya.
Di daerah saya tinggal saat ini (Bali) misalnya, sampai ada muslimah yang meminta kepada seorang Ustadzah agar dinikahkan dengan siapa saja, jika tidak dengan lelaki tertarbiyah (terbina), duda atau dijadikan istri kedua pun bersedia asal lelaki itu adalah lelaki yang sholih. Hal ini terjadi karena usia terus bertambah, mereka para muslimah itu  sudah berpenghasilan, namun tak kunjung datang juga lelaki yang sholih yang meminangny. Para muslimah itu membutuhkan imam, pendamping hidup mereka, mereka pun ingin seperti wanita sholihah lain yang bisa menyempurnakan setengah agamanya dengan menikah.
Sepertinya pemuda-pemuda kita ini perlu diingatkan lagi tentang bahaya keragu-raguan, was-was, dan kroni-kroninya. Itu semua adalah bentuk dari tipu daya syaitan. Sebagai seorang pemuda yang telah mentarbiyah dirinya, mestinya lebih siap dalam meng-upgrade kualitas hidupnya. Setelah bertahun-tahun di tarbiyah (dibina,dididik dan dilatih) dalam rangka memperbaiki diri menjadi pribadi berkarakter islami, melalui proses islahul fardhi, bukankah semestinya segera melanjutkan ke tahapan dakwah berikutnya dengan membina keluarga muslim. Jika tahapan demi tahapan ini terus ditunda, berati kita juga terus menunda terwujudnya cita cita kita membangun peradaban islami.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur (24) : 32).
Tepiskan semua keraguan yang menggangu dari urusan duniawi, karena firman Allah diatas telah dengan tegas memberikan jaminan pada mereka yang dengan ikhlas menikah.
Hendaknya janganlah ukuran kekayaan dunia pula yang menjadi barometer kita. Banyak kita temui di lapangan setelah awalnya berniat mengumpulkan harta yang cukup dulu baru menikah, akhirnya terlalu asyik bekerja malah lupa mencari calon istri sehingga membuat diri semakin terjerumus ke lembah dosa. Mereka lebih suka melakukan onani untuk memuaskan syahwatnya dari pada menikah. Kembali lagi alasan belum sanggup menikah meskipun sudah memiliki pekerjaan tetap namun masih saja belum merasa mandiri.
Kasus ini pernah saya tangan sendiri, seseorang yang akhirnya tertekan dan stress akibat pikiran kotor selalu mengganggu aktivitasnya. Kebiasaan melakukan onani dan menyaksikan tayangan porno telah menjadi sesuatu yang sulit ia tinggalkan.  Sering setelah ia melakukan perbuatannya ia menyesal, dan bertaubat berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Namun tidak lama setiap kali godaan datang, diapun melakukannya kembali. Sampai satu hari seseorang itu mendapatkan informasi keberadaan klinik yang saya kelola, dan ia meminta agar dibantu untuk mengeluarkannya dari kebiasaan yang terus membuat dirinya berputar-putar dalam lingkaran perbudakan syahwat.
Solusinya apa? Ya menikah.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. “ (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
Efek negatif menunda pernikahan akan merusak mental. Namun, tidak jarang para pemuda dan pemudi  yang menunda pernikahan mereka, akibatnya di kemudian hari setelah semua dijalani dan akhirnya merasa sudah terlambat dan mulai  menyimpulkan bahwa jodoh mereka jauh. Padahal Allah berulang kali telah menunjukkan kesempatan dan peluang dihadapan mereka, namun sering diabaikan. Akhirnya tidak sedikit diantara mereka yang frustasi , depresi dan kehilangan percaya diri.
Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)
Maka sebenarnya kebahagiaan, ketenteraman dan kualitas hidup kita salah satunya adalah dengan hidup bersama dalam ikatan suami istri. Bukanlah harta itu yang menentramkan tapi pasangan kita lah yang menenteramkan. Karena dengan dengan menikah seorang lelaki akan terbuka luas peluangnya untuk berbuat lebih banyak lagi kebaikan. Lebih banyak sedekah, dan lebih cepat melaju menuju kedewasaan hidup yang sesungguhnya dengan senantiasa melatih diri menjadi pemimpi yang baik dalam menegakkan kebenaran dan mejauhkan keluarganya dari kemungkaran.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).
Jika memang menunggu mapan. Kapan kira kira kita bisa memastikan harus menikah? Bukankah kata mapan itu sendiri adalah hal yang tidak jelas ukurannya? Sebagai contoh, ada seorang pemuda yang dipaksa menikah oleh calon istrinya, dan ia menolak dengan alasan belum mapan. Namun si calon istri tetap bersikukuh dan mengancam jika tidak menikah maka lebih baik hubungan mereka di akhiri karena dirinya akan menikah dengan lelaki lain. Kemudian singkat cerita mereka pun menikah dalam keadaan yang belum mapan. Setelah pernikahan mereka berusia lima tahun, ternyata keadaan ekonomi mereka juga belum bisa dikatakan mapan, masih biasa-biasa saja. Yang perlu kita renungkan kalau saja mereka tidak menikah lima tahun yang lalu, bisa jadi sampai hari ini mereka belum juga menikah, karena ekonomi belum juga mapan.
Sedangkan contoh-contoh lain juga tidak kalah banyaknya, sahabat sahabat saya yang memutuskan menikah dibawah usia 25 tahun. Dan sampai hari ini rumah tangga harmonis, semua berjalan dengan lancar, bisa mendidik dan menyekolahkan anak, meski belum mapan secara materi. Menikah berarti mendapat anugerah berupa perhiasan dunia terindah dari Allah yaitu seorang wanita yang sholehah.
Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihat.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).
Dan dalam riwayat yang lain :
Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang sholihah” (HR. Muslim)
Tantangan bagi para pemuda, segeralah menikah. Jika Anda belum memiliki pekerjaan, maka bekerjalah dan tetaplah bekerja tanpa harus memiliki pekerjaan tetap. Karena dengan menikah keberkahan dari Allah akan terus belimpah, begitu pula dalam meraih pahala dalam beramal, karena sesungguhnya amal seseorang yang sudah menikah sangat berbeda dimata Allah dengan amalannya seorang bujangan.
Sabda Rasulullah SAW :
Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan) (HR. Ibnu Adiy dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).
Jika setelah menikah yang perlu Anda lakukan adalah terus meng-upgrade kemampuan Anda untuk terus meningkatkan kualitas kehidupan rumahtangga Anda, dan menambah penghasilan Anda. Rejeki Allah yang menjamin.
Rasulullah SAW bersabda: “Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
Kalau kata seorang kawan : “jika masih muda belum menikah dan malas puasa, lalu siapa nabinya tuh?“
Rasulullah SAW. bersabda : “Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain :
Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang “ (HR. Abu Ya’la dan Thabrani).
Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita untuk senantiasa berada di jalan keridhoan-Nya. Memilih sesuatu hanya karena Dia, siap menanggung sesuatu yang telah digariskan-Nya. Mari senantiasa kita puji kebesaran Allah dengan indahnya cara yang Allah berikan untuk menenteramkan hidup kita, dan semoga kita tidak termasuk orang orang yang dikelabui oleh tipu daya dunia.
Wallahu’alam.

PERBEDAAN TA’ARUF DAN PACARAN


PERBEDAAN TA’ARUF DAN PACARAN

Tujuan : 
>> Ta'aruf : mengenal calon istri/suami…, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pernikahan. 
>> Pacaran : mengenal calon pacar, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pacaran, syukur-syukur bisa nikah…

Kapan dimulai
>> ta'aruf : saat calon suami dan calon istri sudah merasa bahwa menikah adalah suatu kebutuhan, dan sudah siap secara fisik, mental serta materi. 
>> pacaran : saat sudah diledek sama teman:”koq masih jomblo?”, atau saat butuh temen curhat, atau saat taruhan dengan teman.

Waktu
>> ta'aruf : sesuai dengan adab bertamu. 
>> pacaran : pagi boleh, siang oke, sore ayo, malam bisa, dini hari klo ngga ada yang komplain juga ngga apa-apa.

Tempat pertemuan
>> ta'aruf : di rumah sang calon, balai pertemuan, musholla, masjid, sekolahan.
>> pacaran : di rumah sang calon, kantor, mall, cafe, diskotik, tempat wisata, kendaraan umum & pribadi, pabrik.

Frekuensi pertemuan
>> ta'aruf : lebih sedikit lebih baik karena menghindari zina hati.
>> pacaran : lazimnya seminggu sekali, pas malem minggu.

Lama pertemuan
>> ta'aruf : sesuai dengan adab bertamu
>> pacaran : selama belum ada yang komplain, lanjut !

Materi pertemuan
>> ta'aruf : kondisi pribadi, keluarga, harapan, serta keinginan di masa depan.
>> pacaran : cerita apa aja kejadian minggu ini, ngobrol ngalur-ngidul, ketawa-ketiwi.

Jumlah yang hadir
>> ta'aruf : minimal calon lelaki, calon perempuan, serta seorang pendamping (bertiga). maksimal tidak terbatas (disesuaikan adab tamu).
>> pacaran : calon lelaki dan calon perempuan saja (berdua). klo rame-rame bukan pacaran, tapi rombongan.

Biaya
>> ta'aruf : secukupnya dalam rangka menghormati tamu (sesuai adab tamu).
>> pacaran : kalau ada biaya: ngapel, kalau ngga ada absent dulu atau cari pinjeman, terus tempat pertemuannya di rumah aja kali ya? tapi gengsi dong pacaran di rumah doang ?? apa kata doi coba ?? 

Lamanya
>> ta'aruf : ketika sudah tidak ada lagi keraguan di kedua belah pihak, lebih cepat lebih baik. dan ketika informasi sudah cukup (bisa seminggu, sebulan, 2 bulan), apa lagi yang ditunggu-tunggu?
>> pacaran : bisa 3 bulan, 6 bulan, setahun, 2 tahun, bahkan mungkin 10 tahun.

Saat tidak ada kecocokan saat proses
>> ta'aruf : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan menyebut alasannya.
>> pacaran : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan/tanpa menyebut alasannya.

Kelanjutan Proses Ta'aruf

 

Kelanjutan Proses Ta'aruf

 


Adapun Kelanjutan Proses Ta’aruf itu tergantung kedua belah pihak, saat hari itu Ta’aruf di proses setelah saling bertanya, saling menjawab, saling berbincang, saling mengetahui, saling nazhar, saling menilai dan lain-lainya. Bisa saja hari itu langsung berlanjut khitbah(meminang), bahkan hari itu bisa langsung nikah kalau kedua belah pihak telah cocok. Kelanjutan Proses Ta’aruf yang sering terjadi adalah kedua belah pihak tidak langsung mengatakan setuju untuk berlanjut keproses selanjutnya yaitu proses kitbah (meminang) untuk nikah atau langsung nikah tanpa khitbah. Tetapi kedua belah pihak biasanya meminta waktu untuk ber-istikharah (shalat Dan do’a istikharah yaitu bermusyawarah dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meminta petunjuk, meminta ketetapan atau keteguhan hati dalam menentukan pilihan) serta bermusyawarah keluarga atau kadang disertakan ustadz/murabi dari masing-masing pihak. Karena dulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam orang tuanya meninggal waktu kecil jadi bermusyawarah dengan sahabatnya.
--Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu berkata : Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana mengajari surah Al-Qur-an. Beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunah (Istikharah) dua rakaat, kemudian baca-lah doa ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi perso-alanku) dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung, se-sungguhnya Engkau Mahakuasa, se-dang aku tidak kuasa, Engkau mengeta-hui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku atau -Nabi n bersabda: …di dunia atau akhirat- sukseskanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja keba-ikan itu berada, kemudian berilah kere-laanMu kepadaku” (HR shahih Bukhari).
 
Tidak menyesal orang yang beristikharah kepada Al- Khaliq dan bermusyawarah dengan orang-orang mukmin dan berhati-hati dalam menangani persoalannya. 
--Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:“… Dan bermusyawarahlah kepada mereka (para sahabat) dalam urusan itu (peperangan, perekonomian, politik dan lain-lain). Bila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah…” (Q.s Ali Imran 159)

Adapun ber-istikharah (shalat Dan do’a istikharah yaitu bermusyawarah dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meminta petunjuk, meminta ketetapan atau keteguhan hati dalam menentukan pilihan) memang sangat bagus jadi ber-istikharah bisa dikerjakan setiap hari itu lebih baik serta bersama-sama ber-istikharah seluruh anggota kekeluarga, baik kita sebelum ada calon untuk diajak Ta’aruf dan setelah ada calon untuk Ta’aruf atau dalam proses Ta’aruf

Jadi Kelanjutan proses Ta’aruf kadang bisa ditentukan atau kadang tidak bisa ditentukan waktunya terserah kedua belah pihak, karena itu masing-masing pihak berhak menentukan jadi atau tidak Ta’aruf dilanjutkan ke pernikahan atau batal.

Contoh proses awal Ta’aruf serta Kelanjutan Ta’aruf :
>1. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, kalau kedua belah pihak telah cocok, terus bermusyawarah Antara kedua belah pihak, dan saat itu juga kedua belah pihak telah setuju untuk langsung nikah saat itu juga tanpa khitbah, maka insya Allah terjadilah pernikahan hari itu tanpa khitbah.

>2. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, kalau kedua belah pihak telah cocok, terus bermusyawarah antara kedua belah pihak, dan saat itu juga kedua belah pihak telah setuju untuk langsung "nikah beberapa hari kedepan tanpa khitbah", maka insya Allah terjadilah pernikahan tanpa khitbah beberapa hari kedepan.

>3. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, kalau kedua belah pihak telah cocok, terus bermusyawarah antara kedua belah pihak, dan saat itu juga kedua belah pihak telah setuju untuk "langsung khitbah", terus kedua belah pihak telah setuju untuk nikah beberapa hari kedepan, maka insya Allah terjadilah pernikahan beberapa hari kedepan dengan.

>4. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, kalau kedua belah pihak telah cocok, terus bermusyawarah antara kedua belah pihak, dan saat itu juga kedua belah pihak telah setuju untuk "khitbah beberapa hari kedepan", terus Insya Allah pernikahan terjadi beberapa waktu kedepan setelah khitbah.

Insya Allah terjadi khitbah dan Insya Allah pernikahan terjadi beberapa waktu kedepan setelah khitbah.

>5. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, "pihak ikhwan telah merasa cocok tetapi pihak akhwat belum merasa cocok." Maka pihak akhwat meminta waktu kepada pihak ikhwan untuk ber-istikharah serta bermusyawarah dengan keluarganya, adapun ustadz/murabinya boleh disertakan boleh tidak dalam musyawarah itu.

Kedua belah pihak berarti tetap melanjutkan proses ta’aruf tapi belum tentu khitbah dan nikah. Jikalau suatu saat, baik sehari besok Atau beberapa waktu kedepan pihak akhwat merasa cocok, maka boleh khitbah dulu terus beberapa waktu kedepan nikah Atau boleh langsung nikah tanpa khitbah dulu. 

Ada kemungkinan kedua belah pihak berarti tetap melanjutkan proses ta’aruf, terus sehari besok Atau beberapa waktu kedepan pihak akhwat tidak merasa cocok terus di berhentikannya ta’aruf oleh pihak akhwat maka proses ta’aruf berakhir.

>6. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, "pihak ikhwan belum merasa cocok tetapi pihak akhwat merasa cocok". Maka pihak ikhwan meminta waktu kepada pihak akhwat untuk untuk ber-istikharah serta bermusyawarah dengan keluarganya, adapun ustadz/murabinya boleh disertakan boleh tidak dalam musyawarah itu.

Kedua belah pihak berarti tetap melanjutkan proses ta’aruf tapi belum tentu khitbah dan nikah. Jikalau suatu saat, baik sehari besok atau beberapa waktu kedepan pihak ikhwan merasa cocok, maka boleh khitbah dulu terus beberapa waktu kedepan nikah atau boleh langsung nikah tanpa khitbah dulu. 

Ada kemungkinan kedua belah pihak berarti tetap melanjutkan proses ta’aruf, terus sehari besok atau beberapa waktu kedepan pihak ikhwan tidak merasa cocok terus di berhentikannya ta’aruf oleh pihak ikhwan maka proses ta’aruf berakhir.

>7. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, pihak ikhwan belum merasa cocok dan pihak akhwat belum merasa cocok. Di sini kedua belah pihak masing-masing ber-istikharah serta bermusyawarah dengan keluarganya, adapun ustadz/ murabinya boleh disertakan boleh tidak dalam musyawarah itu.

Kedua belah pihak berarti tetap melanjutkan proses ta’aruf tapi belum tentu khitbah Dan nikah. Jikalau suatu saat, baik sehari besok Atau beberapa waktu kedepan kedua belah pihak masing-masing merasa cocok, maka boleh khitbah dulu terus beberapa waktu kedepan nikah atau boleh langsung nikah tanpa khitbah dulu.

Ada kemungkinan kedua belah pihak berarti tetap melanjutkan proses ta’aruf, terus sehari besok Atau beberapa waktu kedepan salah satu pihak tidak merasa cocok terus Di berhentikannya ta’aruf oleh salah satu pihak maka proses ta’aruf berakhir.

>8. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, "pihak ikhwan Tidak merasa cocok, tapi pihak akhwat merasa cocok." Maka hari itu juga proses ta’aruf boleh tidak dilanjutkan pihak ikhwan. Tapi dengan menggunakan etika, bagusnya kabarin kepada pihak akhwat besok harinya.

>9. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas, "pihak ikhwan merasa cocok, tapi pihak akhwat tidak merasa cocok." Maka hari itu juga proses ta’aruf boleh tidak dilanjutkan pihak akhwat. Tapi dengan menggunakan etika, bagusnya kabarin kepada pihak ikhwan besok harinya.

>10. Pihak ikhwan hari ini melakukan proses awal Ta’aruf dengan datang bersilaturahmi kepada pihak akhwat, setelah proses didalamnnya jelas. "Karena berbagai macam sebab Atas kehendak Allah Disini proses Ta’aruf bisa berlanjut Dan bisa tidak, bisa khitbah Dan bisa tidak, bisa nikah Dan bisa tidak".

Jadi untuk proses Awal Ta’aruf jelas belum tentu berlanjut berakhir dengan proses akhir nikah. Kedua belah pihak harus ikhlas menerima kenyataan penolakan salah satu pihak, walaupun kekecewaan datang. Karena kalau ikhlas menerima kenyataan penolakan salah satu pihak, insya Allah bakalan mendapatkan pahala yang besar karena itu termasuk beriman dengan Qadha Dan Qadarnya Allah. Insya Allah janji Allah Adalah benar tidak pernah ingkar kita Akan diberikan balasan itu baik ketika didunia atau tersimpan dibalas dengan lebih baik lagi di hari kemudian.

Islam Kok Pacaran


Islam Kok Pacaran

oleh Aliman Syahrani

Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).

Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?

Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."

Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya."Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !

Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.

Lazada Indonesia
toko buku islam
 
Support : Creating Website | Aldhiya Computer | Islam dan Wanita
Copyright © 2011. Islam dan Wanita - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Aldhiya Computer
Proudly powered by Blogger