Sejarah pembukuan hadits
diawali dari kegalauan, kegelisahan, dan kegundahan Umar Bin Abdul Aziz
ketika ia dipercaya menjadi khalifah. Kegalauan tersebut adalah selama
ini hadis banyak dihafal oleh orang-orang yang punya hafalan kuat,
sedangkan kebutuhan masyarakat luas untuk mengetahui hadits sudah tidak
bisa dimungkiri. Karenanya, Umar Bin Abdul Aziz merasa bahwa pembukuan
hadits perlu dilakukan.
Umar bin Abdul Aziz ditengarai
menjadi seorang khalifah yang pertama kali ingin melakukan pembukuan
terhadap hadits. Ini bisa dikatakan sebagai periode awal pembukuan hadis
atau pembukuan hadis pertama kali. Pada abad ke 2, pembukuan bukan saja
dilakukan terhadap hadis, tetapi juga fatwa sahabat dan tabi'in.
Hadis pada abad ke 2 hijriah tidak
memisahkan hadis dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Keadaan ini
kemudian diperbaiki oleh ahli hadis abad pada abad 3 hijriah. Ketika
mengumpulkan hadis, para ahli hadits memisahkan hadis dari fatwa-fatwa.
Pada abad ke 2 hijriah ini ditengarai tidak ada pemisahan hadis, yakni
mencampuradukan hadis shahih dengan hadis hasan dan hadis dha’if. Segala
hadis yang mereka terima mereka bukukan dengan tidak menerangkan
keshahihanya atau kehasananya atau kedho’ifanya. Sehingga dalam abad ke 3
ini sudah mulai dibedakan secara rapi antara hadis shahih, hadis hasan,
dan hadis dhaif.
Pada abad ke 3 hijriah, usaha untuk
membukukan hadis memuncak sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan
al-Muwaththo’ Malik terbesar dalam masyarakat serta disambut dengan
gembira oleh masyarakat. Dari sini, timbul kemauan untuk menghafal
hadis, mengumpulkan, serta membukukannya. Dari sini pula, ahli-ahli ilmu
hadis mulai berpindah tempat dari suatu negeri ke negeri lain untuk
mencari hadis yang akhirnya membuat perkembangan hadis semakin maju.
Awalnya, ulama Islam mengumpulkan
hadits yang terdapat di kota mereka sebagian kecil di antara mereka yang
pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Keadaan ini dipecahkan
Al-Bukhari di mana beliau yang pada mulanya meluaskan daerah-daerah yang
dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisyabury, Ray,
Baghdad, Bashrah, Kufa, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisyariyah,
Asqalan hingga Himsah.
Pada dasarnya Al-Bukhari membuat
langkah baru untuk mengumpulkan hadis yang tersebar di daerah-daerah. 16
tahun lamanya Al Bukhari terus menjelajahi dalam rangka menyiapkan
hadis shahihnya. Pada mulanya, ulama menerima hadis dari para perawi,
lalu menulisnya ke dalam bukunya dengan tidak menetapkan syarat-syarat
menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya suatu hadis
tersebut.
Menurut beberapa sumber, musuh yang
berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis
dalam mengumpulkan hadis, lantas berupaya untuk mengacaukan hadits
dengan menambahkan lafadznya untuk menciptakan hadis maudhu'.
Melihat kesungguhan musuh-musuh
Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan yang dilakukan oleh mereka,
maka para ulama’ hadis bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi
dari berbagai segi, antara lain mengenai segi keadilan, tempat,
kediaman, waktu, serta memisahkan hadis-hadis yang shahih dari yang
dha’if atau hadis palsu.
Pembahasan mengenai kepribadian
perawi menghasilkan ilmu qawa’id at-Tahdits atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan kaidah-kaidah tahdits, illat-illat hadis, dan tarjamah
atau riwayat perawi-perawi hadits. Secara sederhana bisa dipahami bahwa
peristiwa tersebut melahirkan tunas ilmu dirayah (ilmu dirayah
al-hadits) yang memiliki banyak macamnya selain ilmu riwayat (ilmu
riwayat hadis).
Upaya pentashihan dan penyaringan
hadis, atau memisahkan yang shahih dari yang dho’if dengan mempergunakan
sarat-sarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan
ada’ melahirkan kitab-kitab sunan. Ulama’ yang pada awalnya menyaring
dan membedakan hadis-hadis yang shahih dari hadits palsu dan yang lemah
adalah ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termashur.
Penyaringan terhadap hadis-hadis
yang sahih, maudlu atau dhaif diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam
Al-Bukhari. Dalam kitab “Al-Jami’us Shahih”, Beliau membukukan
hadis-hadis yang dianggap shahih, bukan hadis maudlu maupun hadis dhaif.
Sementara itu, Imam Al-Suyuti dalam kitab Alfiyah menyebutka: “Orang
pertama yang hanya menyusun hadis shahih adalah Al-Bukhari”. Sampai saat
ini, hadis-hadis yang disusun Al Bukhari dikenal dengan hadis shahih
Bukhari yang menjadi kitab kumpulan hadis yang banyak digunakan sebagai
rujukan dalam setiap penelitian Islam.
Sesudah Shahih Bukhari dan shahih
Muslim, banyak Imam lain bermunculan yang mengikuti jejak Bukhari dan
Muslim, salah satunya adalah Abu Dawud, Al-Tirmizdi, An-Nasa’i, dan Ibn
Majah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah. Ulama-ulama
hadis yang muncul pada abad 2 dan abad 3 diberikan gelar "mutaqaddimin"
yang berarti mengumpulkan hadis hanya berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di
penjuru negara Arab, Persi dan lain-lain. Sedangkan ulama setelah abad 2
dan 3 dijuluki dengan gelar "Ulama’ Mutaakhirin". Sebagian besar hadis
yang mereka kumpulkan merupakan nukilan atau copy-paste dari kitab-kitab
mutaqaddimin. Hanya sedikit sekali yang dikumpulkan dari usaha mencari
sendiri dari para penghafalnya secara langsung.
Sejarah pembukuan hadits ditulis Rohmat Syariffudin dan Lismanto
Referensi:
Agus Soluhudin Muhammad, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Al-Khathib Ajjaj, Ushul al-Hadits wa Musthalahuh, Darul Fikr, Beirut, 1979
Al-Qasimi, Qawaid al-Tahdits, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1979
Hasbi ash-Shiddieqy Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, PT Pustaka Rizki Putra, 2013
Zuhri Muhammad, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003
Post a Comment
Silahkan komen atau saran dengan kebaikan budi serta keelokan bahasa, trimakasih.