Pengertian Menikah dan Hukumnya
Pengertian Nikah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.[1] Berkata
Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan
untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan
seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu” artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata” artinya telah menggauli di organ kewanitaannya..[2]
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk
melakukan hubungan seksual” . [3]
Kata Nikah Dalam Al Qur’an
Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk
menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu
hubungan seksual.
Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Maka lakukanlah akad nikah dengan
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya” [4]
Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah
dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).” [5]
Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui.” [6]
Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah.[7] Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak
tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus
melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian
diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “
nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan
seksual “.[8]
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ
زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ
يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ
الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا
“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga
kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan
bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka
apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang
pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya
yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan
seksual) dengannya." [9]
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”[10]
Dalam riwayat lain disebutkan :
اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع
“ Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali jima’”[11]
Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad
nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu
pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan
sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan
seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa
laki-laki tersebut melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa
seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa
laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.[12]
Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya
digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz
untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari
madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi
Husain.[13] Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin. [14]
Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai
untuk menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz
untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan
az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab .[15]
Hukum Menikah
Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.
I. Hukum Asal Dari Pernikahan
Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama,
[16] berkata Syekh al-Utsaimin :
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara
fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah,
karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam
pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“ [17]
Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ
اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ,
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami:
“Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai
kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia
dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum
mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .” [18]
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah), kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa : “al ashlu fi al amr lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
ô وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ
وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ
يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan
tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat)
melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang
tertentu)” [19]
Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ
لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ
وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi.
Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.”
Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan
sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.”
Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji
Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan
mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan
juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita.
Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari
golonganku.” [20]
Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk
penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di
dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin :
“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan
bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah
sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non
muslim hukumnya adalah haram. “[21]
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan
tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
Pendapat Kedua : bahwa hukum asal dari pernikahan
adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab
seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan
kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud
dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir
(Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “[22]
Dalil-dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [23]
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat.
Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan
antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh
bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan
menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan
orang yang meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “[24]
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).
Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada
orang yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan
syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk
pengarahan saja.
II. Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang
mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak
sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa
terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan
terjerumus di dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa atau pelajar, jika dia merasa tidak
bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau
seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata
dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah
dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam
bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang
dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung
jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat
dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah bagi orang yang
mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus
dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim
menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.[25]
Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang
mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang
mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. [26]
Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang
tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat).
Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk
dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang
sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu,
istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan
mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya
suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi
tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah
tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah
pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.[27]
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini
adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta
sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa
membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak,
menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya,
menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak
mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang
didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama,
keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.
Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. [28]
Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah pernikahan
yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ),
karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya
akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka
dibolehkan.[29]
Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya
yang disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat.
Wallahu A’lam
[1] Penulis sudah mencari dalam kamus : Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandhur, Mukhtar ash- Shihah karya Muhammad ar- Razi, dan al-Misbah al-Munir
karya al-Fayumi, ternyata tidak mendapatkan arti nikah secara bahasa
adalah berkumpul dan bergabung, tapi penulis mendapatkan pengertian ini
di Kifayah al-Akhyar, karya Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, hlm : 462.
[2] Perkataan al-Fara’ diatas disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim juz : 9, hlm : 171
[3] Sofiyurrahman al-Mubarakfuri, Ittihaf al Kiram, hlm. 288, Abu Bakar al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm.349
[4] Qs. an-Nisa’ : 3
[5] Qs. an-Nisa : 22
[6] Qs. al- Baqarah : 230
[7] Ibnu Qudamah di dalam kitab al-Mughni,
juz : 7, hlm : 333, ( Dar al-Kitab al-Arabi ) mengatakan : “ Disebutkan
bahwa lafadh nikah di dalam al-Qur’an tidak ada yang artinya melakukan
hubungan seksual, kecuali firman Allah subhanahu wa ta’ala : “ hatta tanhika zaujan ghairahu ( 2 : 230 ) “.
[8] Ibnu al-Arabi di dalam buku Ahkam al-Qur’an,
juz : 1, hlm : 267 menyebutkan bahwa Sa’id bin al-Musayib berpendapat
bahwa seorang perempuan yang telah dicerai suaminya tiga kali, maka dia
menjadi halal lagi bagi suaminya yang pertama, jika sudah melakukan akad
nikah dengan suami yang kedua, tanpa harus melakukan hubungan seksual
dengannya berdasarkan dhahir dari ayat di atas ( Qs 2 : 230 ), kemudian
Ibnu Arabi membantah pendapat tersebut. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa
para ulama sepakat bahwa istri yang sudah dicerai 3 kali, harus
melakukan hubungan seksual dengan suami yang kedua sebelum kembali
kepada suami yang pertama ( Muhammad Syamsul al-Haq al –Adhim Abadi, Aun al-Ma’bud, juz : 6, hlm : 301 )
[9] HR Bukhari dan Muslim. Lafadh di atas dari riwayat Abu Daud.
[10] HR. Muslim
[11] Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah
[12] Penjelasan di atas disebutkan oleh al- Farisi dan dinukil oleh Abu Bakar bin Muhammad al Husaini di dalam Kifayah al-Akhyar, hlm : 460. Dan disebutkan juga oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79.
[13] Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al-Akhyar, hlm : 460
[14] Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79.
[15] Pendapat Zamakhsari ini dinukil oleh Syekh Kamil Muhammad Uwaidhah di dalam komentarnya pada buku Kifayah al Akhyar,
hlm : 460. Beliau juga memilih pendapat ini dengan alasan bahwa
Zamakhsari adalah ahli bahasa yang lebih unggul dibanding dengan yang
lainnya. Lihat juga di Ibnu al-Mandhur, Lisan al-Arab, juz : 2, hlm : 626
[16] Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz : 6, hlm : 117
[17] Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz : 3, hlm : 179
[18] HR. Bukhari dan Muslim
[19] Qs. ar- Ra’du : 38
[20] HR. Bukhari dan Muslim
[21] Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 80.
[22] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz : 9, hlm : 173
[23] Qs. an-Nisa’ : 3
[24] Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz : 9, hlm : 174.
[25] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz : 9, hlm : 172
[26] Contoh ini disebutkan oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh Bulughul Maram, juz : 4, hlm : 180.
Penulis sendiri masih belum bisa memahami secara utuh contoh yang
disebutkan oleh beliau. Tetapi yang jelas contoh tersebut berbeda
dengan apa yang disebutkan oleh imam an-Nawawi di dalam Syarh Shohih Muslim
yang mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai keinginan untuk
menikah, tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah
adalah makruh. Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada
keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat
tentang hukumnya. ( An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz : 9, hlm : 174 )
[27] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz : 9, hlm : 174
[28] Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah dan Kontrak , Jakarta, Dar al-Haq, Cet-1, 2010.
[29]Al-Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, juz : 4, hlm :179