Siapakah Mahram Wanita Muslimah?
Di antara kita ada yang belum mengetahui siapa sebenarnya "mahram" bagi setiap wanita muslimah. Tulisan sederhana ini akan menjelaskan siapakah "mahram" yang dimaksud.
Mahram wanita adalah suaminya,
dan setiap laki-laki yang haram menikahinya, baik disebabkan karena
pertalian darah atau pertalian persusuan atau pertalian perkawinan.
Mahram bagi wanita dari pertalian darah ada tujuh:
1. Pokok-pokok pertalian darah; bapak dan kakek-kakeknya wanita dan terus ke atas, baik (kakek-kakek itu) dari pihak bapak atau pihak ibu wanita tersebut.
2. Cabang-cabang pertalian darah, mereka
adalah anak-anak lelakinya wanita dan cucu lelaki dari anak
laki-lakinya wanita serta cucu lelaki dari anak perempuannya wanita dan
terus ke bawah.
3. Saudara-saudara lelakinya wanita, baik itu saudara sekandung atau sebapak atau seibu.
4. A'mam (Paman-paman)nya wanita tersebut, baik
itu paman-paman yang merupakan saudara-saudara lelaki kandung bapaknya
wanita atau saudara-saudara lelaki sebapak dengan bapaknya wanita atau
saudara-saudara lelaki seibu dengan bapaknya wanita tersebut dan baik
mereka itu adalah paman-pamannya wanita tersebut atau pamannya bapak
atau ibu wanita tersebut, karena paman seorang manusia adalah paman
baginya dan keturunannya dan terus ke bawah.
5. Akhwal (Paman-paman)nya
wanita tersebut, baik itu paman-paman yang merupakan saudara-saudara
lelaki kandung ibunya wanita atau saudara-saudara lelaki sebapak dengan
ibunya wanita atau saudara-saudara lelaki seibu dengan ibunya wanita dan
baik mereka itu adalah akhwalnya wanita tersebut atau akhwalnya bapak
atau ibu wanita tersebut, karena khal seorang manusia adalah paman baginya dan keturunannya lalu terus ke bawah.
6.
Anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelakinya wanita (keponakan) dan
anak-anak lelaki dari keponakan (anak lelaki dari saudara lelakinya)
wanita tersebut dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak perempuan dari
saudara lelakinya) wanita tersebut sampai terus ke bawah, baik mereka
itu sekandung atau sebapak atau seibu.
7.
Anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuannya wanita (keponakan)
dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak lelaki dari saudara
perempuannya) wanita tersebut dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak
perempuan dari saudara perempuannya) wanita tersebut sampai terus ke
bawah, baik mereka itu sekandung, sebapak atau seibu.
Dan mahram-mahram sepersusuan seperti mahram-mahran dari pertalian darah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ketika beliau berhijab di depan pamannya sepesusuan yang bernama Aflah:
«لاَ تَحْتَجِبِى مِنْهُ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ»
Artinya: "Janganlah
kamu berhijab darinya, karena sesungguhnya seseorang menjadi mahram
dari sepersusuan sebagaimana mahram dari pertalian darah". Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Dan Mahram dari pertalian perkawinan ada empat:
1.
Anak-anak lelaki dari suaminya wanita (anak tiri) dan anak-anak lelaki
dari anak-anak lelaki suaminya wanita(cucu tiri) dan anak-anak lelaki
dari anak-anak perempuannya suami wanita tersebut (cucu tiri).
2. Bapak suaminya wanita (mertua) dan kakek-kakek suaminya baik dari pihak bapak atau pihak ibu dan terus ke atas.
3.
Suami anak perempuannya wanita (menantu) dan suami cucu (anak perempuan
dari anak lelaki)nya wanita tersebut dan suami cucu (anak perempuan
dari anak perempuan)nya wanita tersebut dan terus ke bawah.
Tiga
jenis ini tetap kemahramannya hanya dengan akad yang sah terhadap istri
meskipun ia (suami) menceraikannya sebelum menggaulinya.
4.
Suami dari ibunya wanita (bapak tiri) dan suami neneknya dan terus ke
atas, baik neneknya dari pihak bapak atau pihak ibu, akan tetapi tidak
tetap kemahraman bagi mereka kecuali setelah menggauli, yaitu bersetubuh
dengannya dengan nikah yang sah, jikalau seseorang menikahi seorang
wanita kemudian ia ceraikan sebelum melakukan jima' maka ia tidak boleh
menjadi mahram untuk anak-anak perempuan wanita tersebut.
Jika lelaki itu mahram bagi wanita itu, maka di sini beberapa ketentuan hukumnya:
Pertama, Berarti wanita itu tidak boleh dinikahi mahramnya:
{حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ
اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ
سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا} [النساء: 23]
Artinya: “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. An Nisa’: 23.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
هذه الآية الكريمة هي آية تحريم المحارم من النسب، وما يتبعه من الرضاع والمحارم بالصهر
“Ayat
yang mulia ini adalah ayat pengharaman mahram dari nasab dan apa saja
yang mengikutinya dari persusuan dan mahram-mahram karena pernikahan.”
Lihat kitab Tafsir Ibnu katsir.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
يحرم من النسب سبع ومن الصهر سبع
Diharamkan dari nasab tujuh orang dan dari pernikahan tujuh orang, kemudian beliau membaca:
{حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ}
Kemudian beliau berkata:
فهن النسب
"Mereka itu yang diharamkan karena nasab (keturunan dan pertalian darah.” Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Kedua, berarti wanita itu boleh bersafar (bepergian) dengan mahramnya:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله
عليه وسلم - «لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ»
Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh seorang wanita bepergian kecuali bersamanya mahram”. HR. Bukhari.
Ketiga, berarti wanita itu boleh bersalaman dengan mahramnya:
معقل بن يسار يقول : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له.
Artinya: “Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Sungguh
ditusukkan ke dalam kepala salah seorang dari kalian dengan paku dari
besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang wanita yang tidak
halal baginya.” HR. Ath Thabrani dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 5045.
Keempat, berarti wanita itu boleh membuka pakaian dalam keadaan yang biasa dibuka.
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ
أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ
جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ } [النور: 31]
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” QS. An Nur: 31.
Terjadi perbedaan pendapat tentang “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”
1. Selendang dan pakaian kain mereka yang tidak mungkin tidak kelihatan. Dan ini pendapatnya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
2. Wajah dan kedua tangannya serta cincin. Dan ini pendapatnya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
3. Cincin dan anting. Dan ini pendapatnya Az Zuhry rahimahullah. (Lihat kitab tafsir Ibnu Katsir).
Kelima, Berarti wanita itu boleh berkumpul dengan mahramnya walau tanpa pembatas
عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم - قَالَ
«إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ» فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ. قَالَ «الْحَمْوُ
الْمَوْتُ»
Artinya: “’Uqbah bin Amir radhiyalahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian memasuki tempat-tempat wanita”, lalu
ada seorang lelaki dari kaum Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah, apa
pendapatmu tentang Alhamwu (kerabat suami)?”, beliau menjawab: “Al Hamwu (kerabat suami) adalah kematian.” QS. HR. Bukhari.
Keenam, berarti wanita itu boleh berdua-duaan dengan mahramnya
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ - صلى الله
عليه وسلم - يَقُولُ «لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلاَ
تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ» فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، اكْتُتِبْتُ فِى غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا ،
وَخَرَجَتِ امْرَأَتِى حَاجَّةً . قَالَ «اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ
امْرَأَتِكَ»
Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak
boleh seorang wanita berdua-duaan dengan seorang lelaki dan tidak
boleh sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersamanya mahram, lalu
seorang lelaki berdiri dan bertanya: “Wahai Rasulullah, aku terdaftar
pada peperangan ini dan ini sedangkan istriku keluar untuk menunaikan
haji?”, beliau menjawab: “Pergi dan berhajilah bersama istrimu.” HR. Bukhari.
Ketujuh, berarti wanita itu boleh dipandang oleh mahramnya
{قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ } [النور: 30، 31]
Artinya: “Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat". “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
menahan pandangannya.” QS. An Nur: 30-31.
Masih
banyak ketentuan hukum yang lain, dan saya cukupkan supaya tidak
terlalu panjang dan terutama karena keterbatasan ilmu. Wallahu a’lam.
*) Diterjemahkan oleh Ahmad Zainuddin dari kitab Manasikul Hajji wal 'Umrah karya Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan beberapa penambahan.
Post a Comment
Silahkan komen atau saran dengan kebaikan budi serta keelokan bahasa, trimakasih.