Antara Menikah, Thalibul Ilmi, Kuliah dan Karir
Tanya: Assalamu’alaikum. Ustadz, ana mau tanya:
manakah yang harus didahulukan antara menikah dengan thalabul ilmi?
Bolehkah menunda nikah dengan alasan masih ada janji yang belum dipenuhi
kepada orang tuanya dan menunda nikah hanya untuk mengejar karir atau
menyelesaikan studi kuliahnya? Mohon dijelaskan karena masih banyak
akhwat yang menunda nikah. Atas jawabannya saya ucapkan jazakallahu
khairan.
Jawab:
Wa’alaikumussalaam warahmatullah. Adapun menunda nikah dengan alasan
ada janji yang belum ditepati kepada orang tua atau dengan alasan karir
atau dengan alasan menyelesaikan studi, maka semua alasan ini bukanlah alasan yang dibenarkan dalam agama untuk menunda pernikahan. Adapun menunda pernikahan karena menuntut ilmu, maka di sini ada beberapa keadaan:
1. Dia belum ingin menikah dan bisa menjaga dirinya dari maksiat.
Hafalannya serta pemahamannya bagus, dan dia bisa memberikan manfaat
kepada kaum muslimah secara umum dengan ilmunya. Maka dalam keadaan
seperti ini sebaiknya dia menuntut ilmu terlebih dahulu sebelum menikah.
2. Dia sudah sangat ingin menikah dan khawatir dirinya akan terjatuh ke dalam maksiat jika dia tidak segera menikah. Dalam keadaan seperti ini dia wajib untuk segera menikah walaupun hafalan dan pemahamannya bagus.
Selain dari kedua keadaan di atas dia boleh memilih, tapi sebaiknya dia segera menikah karena itu akan lebih menjaga dirinya dan kehormatannya.
Dalil mengenai hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Kalau ada seseorang yang kalian ridhai akhlak dan agamanya, datang kepada kalian (untuk melamar) maka nikahkanlah dia. Kalau tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits ini disimpulkan bahwa seorang wanita disyariatkan untuk segera menikah jika sudah ada yang melamarnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Akhwat Shalihah, vol. 8/1432/2010, hal. 86-87.
Nasihat Bagi Orang Tua Muslimah yang Telah Dilamar Namun Menunda Pernikahan karena Alasan Studi
Penulis: Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Alu Fauzan
Soal: Ada adat yang terjadi, yaitu orang
tua yang menolak anak perempuannya untuk dinikahi (ketika ada yang
melamarnya) dengan alasan menyelesaikan studi di Universitas atau
belajar untuk beberapa tahun. Apa hukumnya? Bagaimana nasehat Syaikh bagi mereka? karena terkadang ada sebagian muslimah yang belum menikah pada umur 30 tahun atau lebih.
Jawab : Hukum perkara yang demikian adalah menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau bersabda: ”Apabila datang kepada kalian seseorang yang diridhai (baik) agamanya maka nikahkanlah.” (HR. At-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits hasan).
“Wahai para pemuda barangsiapa di antara kalian yang telah mampu memberikan ba’ah (mahar, nafkah, dll.) maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu menundukkan pandangan, dan menjaga farj (kemaluan).(HR.Al-Bukhari dan Muslim).
Melarang
menikah mengakibatkan seseorang tidak mendapatkan maslahat nikah
(kebaikan-kebaikan yang didapat dalam pernikahan). Oleh sebab itu saya
nasehatkan kepada para wali perempuan dan para muslimah agar tidak
melarang seseorang yang akan menikah dengan alasan menyelesaikan studi
atau belajar. Memungkinkan bagi seorang perempuan mensyaratkan pada suaminya untuk menemani sampai selesai studinya dengan syarat
tidak disibukkan dengan anak-anaknya. Yang seperti ini boleh. Akan
tetapi, keberadaan perempuan yang belajar pada tingkat universitas
adalah suatu hal yang tidak perlu.
Saya
pandang, sesungguhnya apabila seorang perempuan telah selesai studinya
pada tingkat Ibtidaiyah (di Makkah) yang menjadikannya mampu membaca dan
menulis, kemudian diamalkan untuk membaca kitabullah dan tafsirnya,
hadits-hadits Rasulullah dengan syarah-nya (penjelasannya), maka sudah
cukup baginya. Kecuali apabila ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu yang
dibutuhkan manusia, seperti ilmu kedokteran. Meskipun demikian, tetap
dengan syarat tidak adanya ikhthilath (bercampurnya laki-laki dan
perempuan di satu tempat) atau yang lainnya.
(Diterjemahkan
oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab As ilah Muhimmah) Sumber:
Buletin Al Atsary, Semarang Edisi 22/1428. Dikirim via email oleh Al Akh
Dadik
Post a Comment
Silahkan komen atau saran dengan kebaikan budi serta keelokan bahasa, trimakasih.